BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam, “suatu
pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga
dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala
jenis pengetahuan,”[1] mereka
dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam,
atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan
manusia yang berpedoman pada syariat Allah”[2].
Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun
"transfer of training", “tetapi lebih merupakan suatu sistem
yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait
secara langsung dengan Tuhan”[3].
Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan
seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dari pengertian di atas,
pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam
segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok
manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia
demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh
suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut
di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan
sarana terbaik untuk menciptakan
suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan
tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara
intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia"[4]
Pendidikan merupakan proses
budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung
sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada
perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti
irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama
perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman
itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan
sebagai berikut ; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama
perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat
agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban
masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada
peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti
irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan
seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak
pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu
perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan
masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses,
fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang
ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian,
pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern.
Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru
di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn.
Menurut Kuhn, “apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan
menggunakan paradigma lama, maka segala uasha yang dijalankan akan memenuhi
kegagalan"[5].
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah
makalah ini agar lebih terarah pada sasaran yang akan dikaji. Adapun rumusan
masalah kajian makalah dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Karakteristik
Masyarakat Modern
2.
Pendidikan Tradisional
dan Modern
3.
Pendidikan Islami yang
Bagaimana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Masyarakat Modern
Pendapat Alvin Tofler dalam
bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu;
1.
perdaban
yang dibawa oleh penemuan pertanian
2.
peradaban
yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industry
3.
peradaban
baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan
tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran
yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat[6].
Salah satu ciri utama
kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi
perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. “Banyak paradigma yang
digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan
organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan
zaman”[7].
Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan
kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini
yang ditandai dengan munculnya pasca industri [postindustrial society]
seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi [information society}
sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin
Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis
memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak
paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana
dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besara. Semakin banyak informasi
dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan
pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak
informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak
terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar dalam Malik Fajar,
menyatakan bahwa:
Abad informasi ternyata sama
sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar
persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul”. Di
lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi
televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya[8]
Keprihatinan Toynbee melihat
perkembangan peradaban modern yang semakin kehilangan jangkar spritual dengan
segala dampak destruktifnya pada berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia
modern ibarat layang-layang putus tali, tidak mengenal secara pasti di mana
tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa kendali moral lebih
merupakan ancaman. Dan "ancaman terhadap kehidupan sekarang" tulis
Erich Fromm, "bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi
merupakan ancaman terhadap semua" (Erich Fromm, dikutip : A. Syafi'i
Ma'arif, 1997 : 7). Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa “sistem pendidikan tinggi
modern yang kini berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang
kemudian menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens”[9].
Bangsa-bangsa Muslim pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam
penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak
pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang dominan dalam
peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip ekonomi yang menjadikan pasar sebagai
agama baru masih sedang berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk
kepada agama baru ini.
Dampak dari semua kemajuan
masyarakat modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat
ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli
filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh
masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan Erich
Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun anomie mengacu
kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan
keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan
struktural yang diciptakan sendiri.
Dalam keadaan seperti ini,
manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya,
tetapi sebagai benda yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar
dirinya, kepada siapa ia telah memproyeksikan substansi hayati dirinya[10]
Semua persoalan fundamental
yang dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, "menjadi
pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak
cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang
bersifat transcendental Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan
Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan
perubahan tersebut. mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu
materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah,
agama pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat
memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang
dihadapi oleh masyarakat modern".
Mencermati fenomena
peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons
fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari
sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur posetifnya
yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang
perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudah manusia
atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan,
mengatur, dan memanfaatkan produk perabadaban modern tersebut secara maksimal.
B. Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional
(konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut
konsep ini “rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar
di sekolah”[11].
Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan
dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian
elektik atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk
:
(1) anak-anak biasanya
dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian
dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3)
anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu
itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah
otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku
yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada
kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh
guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru,
(9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum
tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks[12]
Lebih lanjut menurut Vernon
Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya
diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya:
1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti
dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk
mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya
anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang
ditetapkan berdasarkan usia mereka
Ciri yang dikemukan Vernon
Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini.
Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang
harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan
konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali
memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran
berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan
merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang
berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern
(konsep baru), yaitu ; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta
didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar
situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta
didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar[13].
Pendidikan pada masyarakat
modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing),
seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara
anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan
cepat.
Shipman (1972 : 33-35) yang
dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern
yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2)
pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai
lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke
dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran
(schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi
sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai
peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan
membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga,
pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang
pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program
pembangunan"[14]
D. Pendidikan Islami yang Bagaimana.
Perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang
dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan
disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan
masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu
ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan
pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis.
Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran
filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau
mengkomunikasikannya. Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu
diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu
(1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3)
persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi
antara satu dengan lainnya.
Pertama, Persolan dikotomik
pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai
sekarang. “Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan
ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu
bukan agama”[15].
Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang
berasal dari Allah SWT” Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman,
salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern
sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk
"mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci
tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah
bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk
produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha
intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam
mengatakan:
bila konsep dualisme
dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan
Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke
perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara
integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan
bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.[16]
Kedua, perlu pemikiran
kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada. Memang
diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup
mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk
menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum
dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian
tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata
lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum,
artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup
berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum
Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang
lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas,
mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum
atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi
masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi
disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik
dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi
peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional
dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal
untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas
waktu yang telah ditentukan.
Mencermati persoalan yang
dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi
pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana
pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam
menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan
Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu
bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.
Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang mampu menjawab
tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam
perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model
pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk
mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam
bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai
dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya
integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan
intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan
sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak
produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang
betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan
sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di
sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama
dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa
kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua disain "pendidikan harus diarahkan
pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya
dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan
dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi
ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan,
memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan
misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus
disertai dengan pendekatan hati. Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh
Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam,
sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan
sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak.
Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah
proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak
berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan.
Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan
menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan
satu-satunya instrumen pendidikan.
Tiga hal yang dikemukakan di
atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk
membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan
zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan
perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang
wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat
praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan"[17].Sehingga
tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan
yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu,
Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan
kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah
dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai
instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan.
Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar
(1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat
konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan
keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi
sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama,
pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk
bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan
pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan
pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
Selain itu dalam menghadapi
era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya
manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam
era global. Menurut Djamaluddin Ancok "salah satu pergeseran paradigma
adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan
relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang
selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi.
Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas
tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena
perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka,
pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus
didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan
tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip
Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa
pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital
yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual,
kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda
untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu,
pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep,
kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat
meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern,
secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi, tujuan
dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang
sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam
perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model pendidikan yang
relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. (3) Pendidikan Islam
didisain untuk dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk
bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan pendidikan di
masa datang. Selain itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat
linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman
yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas
pendidikannya agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu
berubah-berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan
sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama
dalam ikatan masyarakat modern.
DAFTAR PUSTAKAAN
Achwan, Roehan, Prinsip-prinsip
Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan
Kalija, Yogyakarta, 1991.
Ancok, Djamaluddin, Membangun
Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran
dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushulut
Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar
al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di
Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.
Azra, Azyumardi, dalam
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996.
Fadjar A. Malik, Menyiasati
Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan
Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon,
tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.
Machmud, M.Dimyati, Psikologi
Pendidikan, Yogyakarta, BPFE, 1990.
Parker, S.R., et.al, Sosiologi
Industri, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Rahman, Fazlur, Islam
and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University
of Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.
Soroyo, Antisipasi
Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku :
Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara
Wacana, Yogya, 1991.
Syafi'i Ma'arif, Ahmad, Pemikiran
tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam
di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1991.
Syed Sajjad Husaian dan
Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Educatio"., Terj. Rahmani Astuti,
Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.
Tilar, H.A.R., Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera
Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998
[1] Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim
Educatio"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah,
Bandung, 1986,
[2] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa
Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr,
Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan
Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, h. 26
[3] Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi
Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta,
1991.h. 50
[4] Anonim, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.h. 17
[5] H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998,
h. 245
[6] M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat
Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar
Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995, h.
2.
[7] Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam
Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,
Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998. h. 5.
[8] Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern
Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan
Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1
September 1995. H, 3
[9] Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara
Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, h. 7-8
[11] M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan,
Yogyakarta, BPFE, 1990, h. 3
[12] Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai
Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996, h. 45
[13] M.Dimyati Machmud, Op.Cit. h. 3
[14] Azyumardi Azra, Op.Cit. h. 3
[15] Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan
Sosial Menjangkau Tahun 2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
[16] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of
an Intellectual Tradition, The University of Chicago, Chicagi, 1982., terj.
Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.h. 166.
[17] S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, Rineka
Cipta, Jakarta, 1990, h. 1
Gelap tulisannya kak
BalasHapusAyo kunjungi website kami jacktoto untuk mendapatkan video hot setiap harinya
BalasHapus