Selasa, 26 Maret 2013

Pemikiran filsuf muslim dunia barat islam ; IBNU THUFAIL



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini dikarenakan beberapa ulama dan sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk mengkaji dan mengkomentari sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim terdahulu yang karyanya monumental dan susah dicari tandingannya.
Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah filsafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufayl yang merupakan tokoh filosof muslim Neo-Platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti Al-Muwahidin. Ibnu Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya. Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan oleh Aristoteles dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics, dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.
Ibnu Tufail berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
1.            Bagaimana sejarah hidup Ibnu Thufail ?
2.            Apa saja karya-karya Ibnu Thufail ?
3.            Bagaimana pemikiran atau ajaran filsafat Ibnu Thufail ?

C.       Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3.      Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat yang dianut oleh Ibnu Thufail










BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufail أبو بكر بن عبد الملك بن محمد بن طفيل القيسي الأندلسي. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[4]

B.        Karya-Karya Ibnu Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits; Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات" (al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah "الأرجوزة في الطب" (Arjuzah fi at-Thib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin Fes - Maroko dalam bentuk manuskrip.[5]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori baru". Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar perputarannya.[6]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.       Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1.      Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya,  dan tidak berusaha mendamaikan mereka.    Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[7]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.[8]
2.      Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[9]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.[10]
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[11]
3.      Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos.[12]
4.      Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.[13]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[14]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama[15]
5.      Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[16]







BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.             Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
2.             Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3.             Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi cahaya, dan tentang epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.

B.       Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.















DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung: SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Thufail, Ibnu, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.



[1] Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[2] Ibid, hal. 206
[3] Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[4] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html 
[5] Ibid
[6] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
[7] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), hal. 275
[8] Ibid
[9] Ibid, hal. 276
[10] Ibid, hal. 277
[11] Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81
[12] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[13] Ibid, hal. 278
[14] Ibid
[15] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[16] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279-280