Perkembangan Tulisan Al-Qur'an


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Quran menurut Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Sedangkan dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Al-Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Al-Quran diturunkan dalam 2 periode yaitu periode mekkah dan periode madinah. Sejarah kodifikasi Al-Quran diturunkan dari zaman Rasullah SAW , zaman Khalifah Abu Bakar as Sidiq, zaman khalifah Umar bin Khatab, zaman khalifah Usman bin. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, Al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penulisan Al-Qur’an pada masa Rasullullah dan setelahnya ?
2.      Bagaimana perkembangan khat Al-Qur’an ?
C.    Tujuan Masalah
Tujuan dibalik pembuatan pembuatan makalah ini tidak lain adalah untuk mengetaui penulisan Al-Qur’an pada masa Rasullullah, dan setelahnya, serta mengetahui perkembangan khat Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENULISAN AL-QUR’AN DARI MASA NABI DAN SETELAHNYA
1.    Masa Rasullah
Pada masa ini Rasulullah mengangkat beberapa orang untuk dijadikan sebagai jurutulis, diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Alat yang digunakan masih sangat sederhana.[1]
Para sahabat menulis Al-Qur’an pada :
a.    Ujung pelepah kurma (al-usb)
b.    Batu-batu tipis (al lakhaf)
c.    Kulit binatang/ pohon (ar-riqa’)
d.   Pangkal pelepah kurma yang tebal (al-karanif)
e.    Tulang belikat yang telah kering (al-aktaf)
f.     Kayu tempat duduk pada unta (al-aktab)
g.    Tulang rusuk binatang (al-adhla’)
Faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa nabi adalah[2] :
1)        Mem-back up hafalan yang telah dilakukan nabi dan para sahabatnya.
2)        Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun tulisan tetap terpelihara walaupun tidak ditulis pada satu tempat.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan yang lainnya, misalnya hadits Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat manulis apa pun selain Al-Qur’an. Kegiatan itu didasarkan pada sebuah hadist Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, “Janganlah kamu menulis sesuatu yan berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.”[3] Larangan ini dipahami oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai akurasi Al-Qur’an.[4] Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil jurutulis wahyu. Kemudian Rasulullah berpesan, agar meletakkan ayat-ayat yang turun itu disurat yang beliau sebutkan.
Cara yang telah dilakukan Rasulullah dalam rangka memperhebat dan memperlancar penulisan Al-Qur’an kepada kaum muslimin untuk memberantas buta huruf antara lain sebagai berikut :
1)      Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai menulis dan membaca.
2)      Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf. Pada perang Badr al-Kubra, kaum muslimin memperoleh kemenangan. Orang-orang musyrik banyak ditawan, dan diantara para tawanan ini banyak pula yang tidak dapat menebus dirinya sendiri itu, tetapi pandai tulis baca, maka Rasulullah memberikan suatu ketentuan, bahwa tawanan-tawanan tersebut dapat dibebaskan kembali dengan syarat masing-masing telah berhasil mengajar sampai pandai tulis baca 10 orang muslim.
Dengan adanya berbagai macam usaha tersebut, bertambah besarlah keinginan masyarakat muslimin untuk meperlajari tulis baca, dan semakin banyak orang yang bebas dari buta huruf. Hal ini menyebabkan bertambah banyak pula jumlah kaum muslimin yang dapat ikut serta memelihara Al-Qur’an dengan tulisan-tulisan disamping hafalan-hafalan mereka.
Pengumpulan Al-Qur’an dimasa nabi ini dinamakan : a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama.[5]
2.    Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah maka banyak terjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat islam, seperti gerakan keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab,  maka terjadilah peperangan, yang umat Islam sendiri dipimpin oleh Khalid bin Walid. dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 700 orang sahabat yang hafal Alquran terbunuh kemudian setelah kejadian itu mendorong umat agar Abu Bakar membukukan Al-Quran dan kemudian diutuslah Zaid bin Tsabit sebagai penulis penghimpun Al-Qur’an. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an itu terjadi setelah perang Yamamah pada tahun 12 H.[6]
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan.[7]
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, pada tahun 13 H. Dibawah pengawasan abu bakar, umar dan tokoh sahabat lainnya.[8] Tidak layak lagi ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam mengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu bakar, yakni Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide, Zaid mendapatkan kehormatan karena di percaya untuk mengumpulkan kitab suci Al-Qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, dan kerja keras. Khalifah Abu bakar sebagai decision maker menduduki porsi tersendiri.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah tulisan Al-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan “mushaf”.
3.    Masa Utsman bin Affan
Perbedaan pengumpulan mushaf Al-Quran pada masa Abu Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Alquran karena banyak nya para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca Al-Quran, sedangkan dalam perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Al-Quran yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh huruf (dialek) sebagai mana Al-Quran diturunkan. sedang cara pengumpulan yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek dengan tujuan  untuk mempersatukan kaum muslimin.
Sahabat Hudzaifan pada masa pemerintahan Utsman menyarankan kepada beliau agar segera mengusahakan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan cara penyeragaman penulisannya. Hal itu disebabkan oleh perbedaan tentang bacaan Al-Qur’an.
Utsman dapat menerima pemahaman atas usul Hudzaifah, kemudian di bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yakni  terdiri dari :
1)        Zaid bin Tsabit
2)        Sa’id bin Ash
3)        Abdullah bin Zubair
4)        Abdurrahman bin Harits
Prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek quraisy- suku dari mana nabi berasal harus dijadikan pilihan. Al-Quran direvisi dengan nabi berasal dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan hafshah. Dengan demikian suatu naskah otoriatif ( absah ) Al-Quran disebut mushaf “ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utana daerah islam.
Riwayat lain yang dikeluarkan dari Abu Qulbah menjelaskan bahwa pada masa Khalifah Utsman, seorang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, sedangkan guru (lainnya) mengajarkan qira’at tokoh (lainnya). Lalu muridnya bertemu dan berselisih. Persoalan ini terangkat sampai para guru yang padagilirannya saling mengafirkan.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf-mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)        Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[9]
b)        Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kemabli dihadapan nabi pada saat – saat terakhir.
c)        Kronologis surat dan ayat seperti yang sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman.
d)       Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun
e)        Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan. Misalnya yang ditulis dimushaf sebagian sahabat juga menulis maknaayat atau penjelasan nasikh-mansukh didalam mushaf.[10]
4.    Masa Setelah khalifah
Utsman bin ‘Affan r.a kemudian mulai melakukan pengiriman mushaf Al-Qur’an ke beberapa wilayah Islam. Para ulama Islam sendiri berbeda pendapat tentang jumlah eksemplar mushaf yang ditulis dan disebarkan pada waktu itu. Al-Zarkasyi misalnya menggambarkan ragam pendapat itu dengan mengatakan, “Abu ‘Amr al-Dany menyatakan dalam kitab al-Muqni’: mayoritas ulama berpandangan bahwa ketika ‘Utsman menuliskan mushaf-mushaf itu ia membuatnya dalam 4 (eksemplar), lalu mengirimkan satu eksemplar ke setiap wilayah: Kufah, Bashrah dan Syam, lalu menyisakan satu eksemplar di sisinya. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau menuliskan sebanyak 7 eksemplar. (Selain yang telah disebutkan –pen) ia menambahkan untuk Mekkah, Yaman, dan Bahrain. (Al-Dany) mengatakan: ‘Pendapat pertamalah yang paling tepat, dan itu dipegangi para imam.[11]
Sementara Al-Suyuthi menyebutkan pendapat lain –disamping pendapat di atas- yang menurutnya masyhur, bahwa jumlah mushaf itu ada 5 eksemplar.[12]
Semua naskah itu ditulis di atas kertas, kecuali naskah yang dikhususkan ‘Utsman bin ‘Affan r.a untuk dirinya –yang kemudian dikenal juga dengan Al-Mushaf Al-Imam-. Sebagian ulama mengatakan ditulis di atas lembaran kulit rusa.[13] Mushaf-mushaf tersebut oleh para ahli al-Rasm kemudian diberi nama sesuai dengan kawasannya. Naskah yang diperuntukkan untuk Madinah dan Mekkah kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Hijazy, yang diperuntukkan untuk Kufah dan Bashrah disebut sebagai Mushaf ‘Iraqy, dan yang dikirim ke Syam dikenal dengan sebutan Mushaf Syamy.[14]
Dalam proses pendistribusian ini, ada langkah penting lainnya yang juga tidak lupa dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan r.a. Yaitu menyertakan seorang qari’ dari kalangan sahabat Nabi saw bersama dengan mushaf-mushaf tersebut. Tujuannya tentu saja untuk menuntun kaum muslimin agar dapat membaca mushaf-mushaf tersebut sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya. Ini tentu saja sangat beralasan, sebab naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut hanya mengandung huruf-huruf konsonan, tanpa dibubuhi baris maupun titik. Tanpa adanya para qari’ penuntun itu, kesalahan baca sangat mungkin terjadi. Ini sekaligus menegaskan bahwa pewarisan pembacaan Al-Qur’an yang juga berarti pewarisan Al-Qur’an itu sendiri- sepenuhnya didasarkan pada proses talaqqi, bukan pada realitas rasm yang tertuang pada lembaran-lembaran mushaf  belaka.
Tentu saja, pasca pendistribusian naskah-naskah mushaf ‘Utsmani tersebut, kaum muslimin telah memiliki sebuah mushaf rujukan –karena itulah ia disebut sebagai Al-mushaf Al-imam-. Sejak saat itu, mulailah upaya-upaya penulisan ulang naskah Al-Qur’an berdasarkan mushaf ‘Utsmani untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin akan mushaf Al-Qur’an. Dalam kurun yang cukup panjang, yaitu pasca kodifikasi Khalifah ‘Utsman r.a. hingga sekarang terdapat banyak perkembangan baru dalam perbanyakan naskah tersebut. Meskipun upaya itu sama sekali tidak berarti merubah hakikat Al-Qur’an sebagai Kalamullah.
5.    Pemberian  Harakat (Nuqath Al-I’rab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf ‘Utsmani generasi pertama adalah naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-i’jam) dan harakat (nuqath al-i’rab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf Al-Qur’an-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah ‘Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm (tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qira’at yang diterima lalu diajarkan oleh Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata dalam mushaf tersebut.[15] Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf Al-Qur’an yang umum tersebar saat itu tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide pemberian tanda bacaan terhadap mushaf Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H). Kemudian Ziyad meminta kepada Abu Al-Aswad untuk mengerjakannya. Abu al-Aswad sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat semacam ‘perangkap’ kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Inilah yang kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku ‘Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu.
Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-i’rab). Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca Al-Qur’an dengan hafalannya, lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah, dan Abu al-Aswad pun membaca Al-Qur’an dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke halaman berikutnya.
6.    Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-I’jam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Al-Qur’an. Namun pendapat yang paling kuat nampaknya mengarah pada Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, keduanya lalu memutuskan untuk menghidupkan kembali tradisi nuqath al-i’jam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-i’jam.[16] Al-ihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-i’jam adalah memberikan titik pada huruf.
B.       PERKEMBANGAN KHAT AL-QUR’AN
Sebelum kedatangan Islam, dunia penulisan Arab tidaklah serancak dengan zaman selepasnya kerana ia hanya tertumpu pada keadaan-keadaan tertentu sahaja. Khat kaum Nibti yang diwarisi oleh orang Arab hanya dipecah kepada dua bentuk sahaja yaitu Khat Kuufi dan Khat Jazm (Khat Hijaazi).
Setelah datangnya Islam, tabiat Islam itu sendiri yang sememangnya mengajak manusia kepada cintakan ilmu pengetahuan ditambah pula aktiviti pencatatan Wahyu Ilahi pada masa hayat Baginda S.A.W. telah menyemarakkan perkembangan khat Arab. Daripada khat Kuufi dan Hijaazi, ia terpecah kepada beberapa bentuk, antaranya Kuufi Masyaq, Kuufi Madani, Kuufi Basiit, khat Hijaazi Daarij dan khat Makki Madani. Pada zaman itu, kesemua jenis khat yang ada mempunyai ciri-ciri antaranya tidak bertitik, tidak berbaris dan penyusunan yang tidak teratur.
Pada zaman Khulafa’ al-Rasyidin, khat Arab telah diperkembangkan kepada berbagai bentuk dalam rumpun Kuufi seperti Kuufi Klasik, Shaami, Basri, Al-Asfaraaani, Al-Mashab, Al-Samni, Al-Qairamuuz dan lain-lain. Khat pada zaman ini lebih teratur walaupun tanpa bertitik dan berbaris.
Apabila Saidina Uthman R.A. mengisytiharkan pembukuan Al-Qur’an, baginda memperkemas tanda dan perundangan dalam Al-Qur’an yang dikenali sebagai Musyaf Uthmani. Dalam seni musyaf Al-Qur’an, tulisan khat penting kerana merakamkan segala ayat Tuhan. Kegagalan menyalin Al-Qur’an dengan khat yang baik, jelas, dan tepat bermakna tidak kesampaianlah maksud Al-Qur’an dalam erti kata yang luas.
Bentuk tulisan khat ketika itu adalah khat Kuufi Klasik yang tidak bersambung dan mungkin sukar dibaca pada hari ini. Mengikut sejarah, penulisan khat ini dihasilkan di Kufah, Iraq pada kurun ketujuh, hasil ilham mimpi seorang sufi. Ia dinamakan Kuufi, iaitu tulisan yang tidak bercantum dan dinamakan sedemikian sebagai tanda penghargaan kepada bandar Kufah.
Al-Qur’an itu ditulis dengan khat kufiy pada masa Khalifah Rasyidin. Selanjutnya pada Bani Umaiyah. Kalam ini mereka persembahkan kepada seorang juru tulis bernama Quthbah. Dialah ahli tulis yang menulis mushaf-mushaf Bani Umaiyah.[17]
Gaya khat Kuufi digunakan selama lebih kurang tiga abad. Ketika ini, yang menguasai seni dalam Al-Qur’an adalah kekuatan khatnya dan tidak pada hiasan yang terdapat pada jidar kepala sesuatu lembaran berhias. Lebih kurang pada kurun ke-4 Hijrah, khat Kuufi beransur-ansur digantikan oleh khat Naskh hingga kini. Khat Naskh melahirkan pelbagai gaya tulisan dengan diberi nama yang berlainan. Hal ini tidak pula bermakna bentuk seni khat lain tidak digunakan untuk menyalin ayat Al-Qur’an. Antara bentuk khat termasuklah khat Nastaiq di Parsi dan khat Sini di China. Seni khat yang lain seperti Thuluth, Muhaqqa dan Rayhani digunakan pada tajuk surah sahaja. Kini, khat Naskh diterima sebagai bentuk tulisan baku dalam menyalin Al-Qur’an. Seseorang yang arif tentang khat akan berasa kagum kerana pelbagai gaya khat dapat digunakan dalam hanya satu musyaf.
Zaman kerajaan Umawiyah telah menyaksikan pembangunan ketara seni khat Arab, antaranya kemunculan dua bentuk khat yang baru selepas Kuufi iaitu Khat Thuluth dan Khat Nasakh. Selain Khat Thuluth, terdapat khat-khat yang lain yang seakan-akan mirip dengan Khat Thuluth seperti Khat Toomar, Tauqi, Muhaqqiq, Thuluthain, Jalil, Musalsal dan sebagainya. Khat Nasakh pula muncul dari cabangan Khat Daarij semasa zaman permulaan Islam. Pada abad ini, seni khat menyaksikan banyak perubahan antaranya ialah peletakan sistem titik dan baris di samping kemunculan ramai pakar-pakar penulis khat, antaranya Imam Hasan al-Basri, Malik bin Dinar dan Ibnu Hasan al-Maliih.
Tulisan khat terus berkembang pada zaman Kerajaan Abbasiyah, Fatimiyah dan Uthmaniyah. Sebagaimana ketiga-tiga zaman ini terkenal sebagai zaman kegemilangan peningkatan taraf ilmu, begitu juga berlaku kepada dunia Khat Arab. Dikatakan lebih daripada 50 cabangan Khat yang terhasil pada zaman ini yang dikembangkan melalui bentuk-bentuk yang lama. Antara bentuk baru yang muncul ialah Khaat Taliq dan Nastaliq, Nasakh Badi, Khat Hazqaaj, pelbagai cabangan Kuufi dan sebagainya.
Pada kurun ke-10, seni khat tersebar ke Parsi dengan gabungan-gabungan huruf yang lebih berseni. Tulisan ini terdiri daripada beberapa jenis, iaitu khat Kuufi, Khat Nasakh, Khat Diwani, Khat Thuluth dan Khat Riqa.
Pada kurun ke-16 dan 17, seni khat pernah menjadi medium komunikasi terpenting dalam menyampaikan mesej diplomatik. Ia diperkenalkan oleh Housam Roumi semasa era Suleyman 1 di wilayah Turki. Kesenian tulisan khat jenis ini terserlah melalui tanda dan tulisan yang menarik. Seni khat yang dikenali dengan nama Diwani ini berkembang seiring dengan variasinya iaitu Diwani al-Jali yang berbingkai.
Setelah kejatuhan Kerajaan Uthmaniyyah, warisan seni khat yang kebanyakannya yang berpusat di Turki telah berpecah ke serata Tanah Arab. Akhirnya, tahun demi tahun, bentuk-bentuk khat yang banyak tadi telah dihadirkan kepada beberapa bentuk tertentu saja. Had ini dibuat bagi menetapkan jenis-jenis khat yang kemas teratur, cantik dan berseni untuk diguna pakai oleh masyarakat umum. Untuk itu, khat-khat yang kekal sehingga sekarang ialah Khat Thuluth, Nasakh, Farsi yang muncul dari cabangan Nastaliq dan Kuufi, Diwaani yang muncul daripada Hazqaaj dan khat baru yang lain seperti khat Riqah, Ijazah dan yang terbaru seperti Khat Moden. Antara tokoh-tokoh khat zaman moden terkenal ialah Sheikh Abd. Aziz Al-Rifaaei (seorang ulama Islam yang faqih dari Turki), Hamid Aamidi (Turki), Mustafa Izzat (Turki), Said Ibrahim (Mesir), Mahmud Shahaat (Mesir), Hashim Muliammad (Baghdad) dan lain-lain.

    
                                                                                                                                                                       
BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Rasulullah mengangkat beberapa orang untuk dijadikan sebagai jurutulis, diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Alat yang digunakan masih sangat sederhana, seperti : Ujung pelepah kurma (al-usb), Batu-batu tipis (al lakhaf), Kulit binatang/ pohon (ar-riqa’), Pangkal pelepah kurma yang tebal (al-karanif), Tulang belikat yang telah kering (al-aktaf), Kayu tempat duduk pada unta (al-aktab) dan Tulang rusuk binatang (al-adhla’).
Abu al-Aswad adalah orang yang diutus oleh Ziyad bin Abihi untuk memberi  Harakat (Nuqath Al-I’rab) pada Al-Qur’an dan orang yang memeberi titik pada huruf (Nuqath al-I’jam) adalah Nashr bin ‘Ashim dan Yahya bin Ya’mar.
Pada mulanya Al-Qur’an ditulis dengan Khat Kuufi dan Khat Jazm (Khat Hijaazi). Akhirnya, tahun demi tahun, bentuk-bentuk khat tersebut telah dihadirkan kepada beberapa bentuk tertentu saja. Had ini dibuat bagi menetapkan jenis-jenis khat yang kemas teratur, cantik dan berseni untuk diguna pakai oleh masyarakat umum. Untuk itu, khat-khat yang kekal hingga sekarang ialah Khat Thuluth, Nasakh, Farsi yang muncul dari cabangan Nastaliq dan Kuufi, Diwaani yang muncul daripada Hazqaaj dan khat baru yang lain seperti khat Riqah, Ijazah dan yang terbaru seperti Khat Moden.
B.       SARAN
Pada zaman sekarang era globalisasi sudah sangat canggih dan ilmu pengetahuan  sangat luas diperoles alangkah baiknya seseorang tetaplah mempelajari dan menghafal al-Qur’an lebih-lebih bisa mengamalkan nya pada kehidupan sehari-hari. Dan dapat memeplajari sejarah-sejarah awal mula knapa bahasa arab bisa menjadi bahasa al-Qur’an terkait dengan pembahasan makalah ini. Dan semoga kita semua slalu mendapat kmudahan dalam mencari ilmu. Amin...
DAFTAR PUSTAKA

Al-Abyadi, Ibrahim, Sejarah Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 1992
Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1
Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1
Al-Qaththan,  Manna, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadits, ttp, 1973
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka Setia, bandung, 2009
Kholis, Nur, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Teras, 2008
Marzuki, Kamaludin, ‘Ulumul Qur’an
Muhammad bin Muhammad Abu syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, Maktabah As-Sunnah, Kairo, 1992
Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal. 73, dan Naqth al-Mushaf al-Syarif
http://wahdah.or.id/berita/umum/sejarah-penulisan-al-quran.html


[1] Muhammad bin Muhammad Abu syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim, Maktabah As-Sunnah, Kairo, 1992, 241
[2] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka setia, bandung, 2009, 74-75
[3] Ibid, 74
[4] Kamaludin Marzuki, ‘Ulumul Qur’an, hal. 68
[5] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, Teras, 2008, 85
[6] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, CV Pustaka setia, bandung, 2009, 75
[7] Manna Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadits, ttp, 1973, 126
[8] Ash-Shalih, op,. Cit,. Hlm 77
[9] Ibid, 81
[10] Marzuki, op. cit., hlm. 76
[11] Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1/334
[12] Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, 1/132
[13] Al-Mushaf al-‘Utsmany, hal.5
[14] Ibid.
[15] Tarikh al-Mushaf al-Syarif, hal. 73, dan Naqth al-Mushaf al-Syarif, hal. 1
[16] Nuqath al-Mushaf al-Syarif, hal. 2
[17] Ibrahim Al-Abyadi, Sejarah Al-Qur’an, PT Rineka Cipta, 1992, 100

Tidak ada komentar:

Posting Komentar