BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang
ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap
sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran
bila dalam studi sejarah pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal
dari Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran
dan kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi,
dan Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya
dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Hal ini
dikarenakan beberapa ulama dan sarjana kita, tampaknya kurang tertarik untuk
mengkaji dan mengkomentari sejumlah karya-karya ulama dan cendekiawan muslim
terdahulu yang karyanya monumental dan susah dicari tandingannya.
Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol
abad pertengahan dalam ranah filsafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu
Thufayl yang merupakan tokoh filosof muslim Neo-Platonis Spanyol yang telah
mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa
pemerintahan dinasti Al-Muwahidin. Ibnu
Thufayl memberikan gambaran tentang sebuah simpul social, yang mengubah urutan
situasi pikiran dari ketiadaan panca indera menuju kepada isolasi budaya.
Tujuan utama Ibnu Thufayl adalah untuk menunjukkan apa yang dapat ditemukan
oleh intelejensia manusia tanpa adanya bantuan dari pihak di luar dirinya yang
bersifat ketuhanan, yang menanamkan pengetahuan – penerimaan mengenai ide-ide
dan kecenderungan untuk secara aktif melakukan pencarian seperti yang telah
ditegaskan al-Ghazali terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dilakukan
oleh Aristoteles dengan menyusun sebuah premis ketika dia mengawali bukunya, Metaphysics,
dengan kata-kata, “seluruh manusia secara naluri ingin mencari tahu”.
Ibnu Tufail
berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam tingkat
mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa orang menganggapnya sebagai
orang panties yaitu orang yang menganggap tidak ada beda lagi antara dirinya
dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al
Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya:
”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.”
(terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia
sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang
perlu dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
1.
Bagaimana sejarah hidup
Ibnu Thufail ?
2.
Apa saja karya-karya Ibnu
Thufail ?
3.
Bagaimana pemikiran atau
ajaran filsafat Ibnu Thufail ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail
3.
Untuk mengetahui pemikiran dan
filsafat yang dianut oleh Ibnu Thufail
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd
Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufail أبو بكر بن عبد
الملك بن محمد بن طفيل القيسي الأندلسي. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada,
Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan
sebutan Abubacer.[1]
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail
mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah
sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat
serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya
sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R.
Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah
uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu
Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia
meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan
disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail
dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn
Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak
kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah
menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling
berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh
filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku
ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya
dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara
akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[4]
B.
Karya-Karya Ibnu
Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd
sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah
kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus
membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam
karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits;
Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd
dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات"
(al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa
dinikmati adalah "الأرجوزة في الطب" (Arjuzah fi at-Thib) sepanjang 7700
bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin Fes - Maroko dalam bentuk manuskrip.[5]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga
merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis
Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang
astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat
raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori
baru". Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail
memiliki teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.[6]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M )
menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al
hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata
pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian
dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn
Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah
buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya
ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan
kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi
pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok
pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh
kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut
para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh
para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.
Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1.
Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu
kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam
filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi
masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah
satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan
mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para
pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan
konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan
tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari
kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka
dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta
itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo
tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[7]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau
begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak,
sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya.
Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas
sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena
itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan sementara dunia ini.[8]
2. Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu
mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain
anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada
akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[9]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa
yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam
esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia
dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau
pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu
tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu
bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam
esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam
soal waktu keduanya tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama
kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah
suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai
cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana
dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai
pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang
tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada
kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi
bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti
terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai
dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan pengejawantahan kekal.[10]
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu
Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu
bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat
dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada
Tuhan.[11]
3. Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada
lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang
satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin.
Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan
seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari
dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu
yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu
hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi
timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam
kosmos.[12]
4. Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau
papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi
untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih
tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai
kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik
kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman,
inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan
dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa.
Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu
pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi
epistimologi Ibnu Tufail.[13]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal
lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan
yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak
menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak
lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai
benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan
pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok
benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima
bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab
fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah
dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud
itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan
tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak
ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab
tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[14]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat
Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias
mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam
skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan
sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi
oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail
sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih
dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk
menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga
ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara
sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat
pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan
tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan
keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar
telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan
esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama[15]
5. Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani
dan esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan
Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan
binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan
yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap
obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran
esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda
angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak
habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan
sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan,
kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan
kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas
merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir
adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada
perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik
dengan esensi Tuhan.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix
(Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam
bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
2.
Karya Ibnu Thufail yang terkenal
adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak
kesadaran”).
3.
Ajaran Filsafat Ibnu Thufail
meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi cahaya, dan tentang
epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.
B. Saran
Dari
beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk
memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya
salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung: SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada. 2007.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Thufail, Ibnu, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan
Nalar dengan Tuhan. Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.
[1] Sirajuddin.
Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[2] Ibid,
hal. 206
[3] Mustofa,
Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[4] http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
[5] Ibid
[6] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
[7] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), hal. 275
[8] Ibid
[9] Ibid,
hal. 276
[10] Ibid,
hal. 277
[11] Sudarsono,
Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81
[12] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[13] Ibid,
hal. 278
[14] Ibid
[15] Mustofa,H.A,
Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[16] Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka
Setia,1997), 279-280
Tidak ada komentar:
Posting Komentar